DEMOKRASI
DI INDONESIA
BERKAITAN
DENGAN RULE OF LAWS
Rule
of law adalah istilah dari tradisi common law dan berbeda dengan persamaannya
dalam tradisi hukum Kontinental, yaitu Rechtsstaat (negara yang diatur oleh
hukum). Keduanya memerlukan prosedur yang adil (procedural fairness), due
process dan persamaan di depan hukum, tetapi rule of law juga sering dianggap
memerlukan pemisahan kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia tertentu dan
demokratisasi. Baru-baru ini, rule of law dan negara hukum semakin mirip dan
perbedaan di antara kedua konsep tersebut menjadi semakin kurang tajam.
Rule
of law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara-negara yang menganut
system seperti Inggris dan Amerika Serikat, kedua negara tersebut
mengejewantahkannya sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan
derajat dalam suatu negara di hadapan hukum. Hal tersebut berlandaskan pada
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), di mana setiap warga negara dianggap sama
di hadapan hukum dan berhak dijamin HAM-nya melalui sistem hukum dalam negara
tersebut.
Rule
of law jamak diartikan sebagai penegakan hukum, dimana segala sesuatu harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum. Aturan atau kaidah dilaksanakan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Secara kontras berbeda dengan rule by law yang berarti
penegakan hukum disesuaikan dengan aturan atau kaidah yang berlaku. Saya
memahaminya, bahwa dalam rule by law, hukum merupakan panglima terhadap kaidah,
sedangan dalan rule by law, kaidahlah yang menjadi panglima bagi hukum. Demi
rule of law, dibutuhkan ketegasan penegak hukum-tidak pandang bulu, tegas dan
tajam. Sementara, dalam rule by law, sarat dengan kepentingan. Hukum
dikondisikan dapat mengamankan kebijakan kekuasaan. Dalam rangka mengamankan
kebijakan kekuasaan maka hukum-hukum baru diciptakan. Sesuai atau tidak dengan
kaidah hukum atau tidak, bukanlah menjadi pertimbangan penting, bahkan di
sengaja dikesampingkan. Rule of law kental dengan muatan aspek keadilannya,
sementara rule by law, kental dengan berbagai bentuk diskriminasi dan pemaksaan
kehendak penguasa terhadap objek yang dikuasainya, yaitu rakyat. Lebih jauh
dapat dijelaskan sebagai berikut “Rule by
law is prudential: one rules by law (properly speaking) not because the law is
higher than oneself but because it is convenient to do so and inconvenient not
to do so. In rule of law, the law is something the government serves; in rule
by law, the government uses law as the most convenient way to govern”.
Lalu,
bagaimana kita melihat produk hukum kita saat ini. Pergantian era, dari Orde
Baru, ke Era Reformasi ternyata belum juga menunjukkan kesungguhan penguasa
memahami arti sebenarnya rule of law. Berbagai produk hukum seperti
Undang-undang, Kepmen, maupun Perda-perda, masih sarat dengan nafas rule by
law. Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat dipersalahkan
jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. Rule of law mengandung
asas "dignity of man" yang harus dilindungi dari tindakan
sewenang-wenang pemerintah penguasa. (Oemar Seno Adji, 1980). Inti dari rule of
law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, di mana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa
aman, dan dijamin hak-hak asasinya.
Cita-cita
untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif, mengakibatkan munculnya
gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan dengan suatu konstitusi. Baik
dengan naskah konstitusi yang tertulis atau (written constitution) ataupun
dengan konstitusi yang tidak tertulis(unwritten constitution). Didalam
konstitusi biasanya hak-hak warga Negara, serta pembagian kekuasaan negara
sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen
atau legislative dan lembaga hukum lainnya sehingga terjadi keseimbangan
kekuasaan. Demokrasi konstitusional adalah sebuah gagasan bahwa pemerintah
merupakan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tunduk pada
pembatasan konstitusi, agar kekuasaan tidak disalah gunakan oleh pemegang
kekuasaan. Konstitusi di pandang suatu lembaga yang memiliki fungsi khusus,
yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak, dan menjamin
hak hak asasi dari warga negaranya.
Indonesia
sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law dalam
negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang
terlibat dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala
kebobrokan masa lalu dan menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang
baru, yang memiliki the rule of law dalam negaranya.
Konstitusi
dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara
dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “government by
laws, not by men” yang artinya pemerintah berdasarkan hukum bukan, bukan
berdasarkan kemauan penguasa. Abad 19 dan permulaan abad 20 gagasan mengenai
perlunya pembatasan kekuasaan mendapat landasan yuridis. Sejak ahli hukum Eropa
Barat Kontinental seperti Immannuel Khant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl
memakai istilah rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti AV Dicey memakai
istilah rule of law. Empat pilar demokrasi yang didasarkan rechsstaat dan rule
of law dalam arti klasik adalah :
1. Penghargaan terhadap
hak asasi manusia.
2. Pemisahan dan
pembagian kekuasaan yang popular dengan “trias politica.
3. Pemerintah
berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan ( Miriam
Budiardjo, 1983:57)
Sebagai perbandingan
pilar-pilar demokrasi yang didasarkan konsep rule of law menurut AV Dicey
adalah :
1. Tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang.
2. Kedudukan yang sama
dalamhukum (dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat)
3. Terjaminnya hak-hak
manusia oleh undang-undang.
Konsep
demokrasi berdasarkan rule of law lahir dari paham liberalisme yang menganut
dalil negara sebagai penjaga malam. Pemerintahan hendaknya tidak terlalu banyak
mencampuri urusan warga negaranya, kecuali dalam hal yang menyangkut
kepentingan umum seperti bencana alam, hubungan luar negeri dan pertahanan
serta keamanan. Maknanya adalah rasa keadilan yang kembali kepada rakyat, bukan
kepada kekuasaan dan para penguasa yang menciptakan hukum, sebagaimana adagium
Solus Populis Suprema Lex yang berarti suara rakyat adalah suara keadilan (sic
– Salus populi suprema lex artinya kesejahteraan rakyat merupakan hukum
tertinggi – Red.).
Indonesia
berdiri sebagai sebuah negara "rechtsstaat"/negara hukum (yang menurut
Friedrich Julius Stahl, memiliki empat unsur yaitu: hak-hak dasar manusia,
pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan
peradilan tata usaha negara). Konsep negara hukum Indonesia terlihat dan rule
of law pun sebenarnya tercakup di dalamnya. Tetapi pada praktiknya rule of law
belum terwujud secara nyata. Baru setelah gerakan reformasi tercetus, Indonesia
kembali mencari bentuk akan identitas "negara hukumnya"dan juga
"rule of law" "Civil Law System" Indonesia sebagai negara yang
menganut civil law system (Eropa Kontinental), mengedepankan hukum positif
sebagai patokan utama dalam menjalankan tugas-tugas negara dan juga dalam
sistem peradilannya. Apabila konsep negara hukum Indonesia dengan civil law
system- nya diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya maka rule of law
sudah pasti akan dapat terwujud. Bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang
berdiri sebagai "negara hukum" atau "rechtsstaat" sudah
merupakan finalisasi dari perjalanan sejarah tata hukum Indonesia. Juga civil
law system yang dianutnya merupakan sistem yang telah menjadi dasar tata hukum
di sini.
Rule
of law yang menjadi konsep hukum dan keadilan dari negara-negara common law,
merupakan suatu tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia
tidak mungkin mengubah sistem hukumnya menjadi common law system. Apakah
mungkin sebuah negara hukum Indonesia dengan sistem civil law (Eropa
Kontinental) mewujudkan rule of law dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya?
Jawabannya adalah mungkin. Karena pada hakikatnya konsep negara hukum Indonesia
yang ideal juga mencakup rasa keadilan dari masyarakat dan melindungi hak-hak
asasi setiap warga negara Indonesia. Namun, sampai saat ini rule of law mungkin
belum terwujud, dan itu bukan karena sistem hukum yang salah, tetapi karena
unsur manusia yang menjadi pelaksana-pelaksana kenegaraan yang telah salah
menjalankan negara ini.
Minimal
Tiga Hal Untuk dapat mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus
melakukan minimal tiga hal, yaitu; Pertama, hukum di Indonesia harus memenuhi
rasa keadilan dalam masyarakat. Maksudnya, sejak dari proses legislasi di DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) para wakil rakyat harus bisa mengejawantahkan
aspirasi keadilan rakyat dalam rancangan undang-undang yang sedang dikerjakannya.
Hukum yang diciptakan harus responsif terhadap tuntutan akan rasa keadilan
rakyat dan hukum yang diciptakan harus bersih, murni dari intervensi politik,
ekonomi, dan kepentingan sekelompok orang. Kedua, Indonesia harus menjalankan
suatu sistem peradilan yang jujur, adil, dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme). Sistem peradilan Indonesia saat ini belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya karena kurangnya pemahaman dan kemampuan atau bahkan
kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik
penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan masyarakat pencari
keadilan.
Proses
peradilan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia memiliki
asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya semua itu
hanya menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia telah
terkontaminasi oleh "mafia peradilan". Jika ini semua belum dapat
diberantas mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang
akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan pembubaran
TGTPK oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat melukai rasa
keadilan masyarakat.
Akses
Publik Ketiga, Akses publik ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif
Indonesia telah merumuskan sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang
terlibat dalam proses peradilan pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak
yang diberikan kepada pencari keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak
tertinggal dari negara-negara lain, dan umumnya mengikuti norma dan prinsip
dalam instrumen internasional. Akan tetapi dalam banyak peristiwa justru
kewenangan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum tersebut telah
disalahgunakan sehingga merugikan hak para pencari keadilan. Sejumlah kenyataan
lain yang sering dijumpai adalah awal pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi,
meremehkan keterangan yang diberikan, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula
pemeriksaan terhadap tersangka memiliki kendala yang dialami oleh penyidik.
Salah satunya yang sering muncul adalah tersangka dengan sengaja mempersulit
jalannya pemeriksaan. Ini mengakibatkan polisi sebagai penyidik menggunakan
berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak agar penyelesaian dapat berjalan
cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule of law, akses publik ke peradilan
jelas harus ditingkatkan.