KUNGRANGNYA AIR BERSIH YANG MENJADI
KONFLIK BESAR
BAGI MASYARKAT INDONESIA
MAKALAH
DISUSUN OLEH:
NAMA
: HARDIONO PANJAITAN
NPM : 33410137
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air
merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat
bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup
bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang
dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari
total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air
minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi
sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari.
Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum.
Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Seperti yang
disampaikan Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO), saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih
dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun. Akibatnya,
terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk
bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang
akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan
air telah berdampak negative terhadap semua sektor, termasuk kesehatan. Tanpa
akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal tiap hari oleh
penyakit. Begitu peliknya masalah ini sehingga para ahli berpendapat bahwa pada
suatu saat nanti, akan terjadi “pertarungan” untuk memperbuatkan air bersih
ini. Sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak
dan gas bumi.
Disamping bertambahnya populasi
manusia, kerusakan lingkungan merupakan salah satu penyebab berkurangnya sumber
air bersih. Abrasi pantai menyebabkan rembesan air laut ke daratan, yang pada
akhirnya akan mengontaminasi sumber air bersih yang ada di bawah permukaan
tanah. Pembuangan sampah yang sembarang di sungai juga menyebabkan air sungai menjadi
kotor dan tidak sehat untuk digunakan. Di Indonesia sendiri diperkirakan, 60
persen sungainya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar
berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal
coli penyebab diare. Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2002 terjadi 5.789
kasus diare yang menyebabkan 94 orang meninggal. Pembabatan hutan dan
penebangan pohon yang mengurangi daya resap tanah terhadap air turut serta pula
dalam menambah berkurangnya asupan air bersih ini. Selain itu pendistribusian
air yang tidak merata juga ikut andil dalam permasalahan ini. Berkaitan dengan
krisis air ini, diramalkan 2025 nanti hampir dua pertiga penduduk dunia akan
tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air. Ramalan itu dilansir World
Water Assesment Programme (WWAP), bentukan United Nation Educational,
Scientific and Cultural Organization (Unesco). Lembaga itu menegaskan bahwa
krisis air didunia akan memberi dampak yang mengenaskan. Tidak hanya membangkitkan
epidemi penyakit yang merenggut nyawa, tapi juga akan mengakibatkan bencana
kelaparan.
1.2 Perumusan Masalah
Indonesia
merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya air dimana ketersediaan
air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih jauh di atas ketersediaan
air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun. Meskipun begitu,
Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat
Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Adapun yang memiliki akses,
sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha air secara
komunitas serta sumur air dalam. Kondisi ini ironis mengingat Indonesia
termasuk kedalam 10 negara kaya sumber air tawar. Menurut laporan Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, ketersediaan air di Pulau
Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000, dan akan terus
menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020. Padahal,
standar kecukupan minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Penyediaan
air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan keluaran-keluaran kualitas
pembangunan manusia, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan masyarakat, serta
secara tidak langsung dampaknya dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, yang menjadi
kendala sekarang adalah pengelolaan sumber daya air yang buruk yang mengakibatkan
tidak meratanya penyebaran air.
Hal
ini tentu saja berdampak pada kemampuan masyarakat miskin untuk menikmati
pelayanan air bersih. Pada kenyataannya sekarang masyarakat miskin tidak
mempunyai akses terhadap air bersih. Bahkan, masyarakat miskin harus membayar
jauh lebih mahal guna mendapatkan air bersih tersebut sehingga banyak dari
mereka yang tidak sanggup membayar, harus menggunakan air yang tidak bersih.
Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air yang buruk ini
antara lain yang menempatkan Indonesia pada peringkat terendah dalam Millennium
Development Goals (MDGs). Laporan Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNDP) tentang MDGs Asia Pasifik tahun 2006 menyebutkan,
Indonesia berada dalam peringkat terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar,
Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina. Karena itu, mengingat pentingnya masalah
krisis air bersih ini maka harus segera dicari pemecahannya.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini, yaitu:
a) Mengetahui
dan memahami potensi ketersediaan air di Indonesia.
b) Mengetahui
gambaran krisis air di Indonesia.
c) Mengetahui
sebab-sebab terjadinya krisis air di Indonesia.
d) Mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari krisis air di Indonesia.
e) Mengetahui
program yang dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi krisis air bersih
1.4
Telaah
Pustaka
Pada makalah ini, metode penulisan yang
digunakan adalah metode studi kepustakaan atau disebut juga telaah pustaka.
Telaah pustaka ini yaitu melakukan pengumpulan data dari beberapa referensi
yang berkaitan dengan krisis air yang terjadi di Indonesia yang dilakukan
dengan cara penelusuran teori-teori melalui buku, jurnal, artikel internet dan
literatur lainnya.
1.5
Sistematika
Penulisan
Untuk
memudahkan pembaca agar lebih mengerti penulisan makalah ini, maka makalah ini dibagi
ke dalam empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan yang dilakukan,
dan sistematika penulisan. Selanjutnya bab dua yang merupakan pembahasan dan
berisikan studi kasus, penyebab dan dampak krisis air bersih, kualitas air
bersih saat ini, realitas kebijakan pemerintah. Bab tiga yang berisikan kesimpulan
dan saran dari kelompok.
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Air dan Syarat-syarat Air Bersih
Dalam UU RI No.7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu
sebagai berikut : Sumber daya air adalah air, dan daya air yang terkandung
didalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan. Air Bersih (clean
water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hariyang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air Minum
(drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air
permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah
air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat
pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah. Dalam referensi lain disebutkan
bahwa air adalah adalah zat kimia yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang
diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi
hampir 71% permukaan bumi. Saat ini kualitas air minum di kota-kota besar di
Indonesia masih memprihatinkan.
Kepadatan penduduk, tata ruang yang salah dan tingginya
eksploitasi sumber daya air sangat berpengaruh pada kualitas air. Pemerintah
telah mengeluarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air Minum. Syarat air minum sesuai Permenkes yaitu harus
bebas dari bahan-bahan anorganik dan organik. Dengan kata lain kualitas air
minum harus bebas bakteri, zat kimia, racun, limbah berbahaya dan lain
sebagainya. Parameter kualitas air minum yang berhubungan langsung dengan
kesehatan sesuai Permenkes tersebut adalah berhubungan dengan mikrobiologi,
seperti bakteri E.Coli dan total koliform. Yang berhubungan dengan kimia
organic berupa arsenik, flourida, kromium, kadmium, nitrit, sianida dan
selenium. Sedangkan parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan,
antara lain berupa bau, warna, jumlah zat
padat terlarut (TDS), kekeruhan, rasa, dan suhu. Untuk parameter kimiawi
berupa aluminium, besi, khlorida, mangan, pH, seng, sulfat, tembaga, sisa khlor
dan ammonia
3.2 Gambaran Umum Krisis Air Bersih di
Indonesia
Berdasarkan data WHO (2000),
diperkirakan terdapat lebih 2 milyar manusia per hari terkena dampak kekurangan
air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak mendapatkan air yang memadai
dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang layak. Sedangkan pada tahun 2050
diprediksikan bahwa 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air
bersih (Gardner Outlaw and Engelman, 1997 dalam UN, 2003). Di Indonesia
sendiri, dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta, kebutuhan air bersih
menjadi semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus naik
hingga 15-35 persen per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih
cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran. Sekitar
119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara
Pembaruan – 23 Maret 2007). Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih
untuk kebutuhan sehari hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk
Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada
82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara
kesehatan. Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia
lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia,
tingkat akses sumber air di pedesaan mencapai 94 persen.
Di negara Indonesia yang kaya sumber
daya air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya menyentuh level 69
persen, lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72 persen. Pada akhir PJP
II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa
dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan
mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk
industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata
65% dan untuk produksi pangan naik 100%. Pada tahun 2000, untuk berbagai
keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air
bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan
hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di
Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak
menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung
menurun.
Di daerah perkotaan seperti Jakarta
saja, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta
dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut
Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar
hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit.
Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5
juta meter kubik air dalam satu hari. Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih
untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005). Dibawah ini ada dua contoh kasus
krisis air bersih di yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan: Contoh Kasus
Krisis Air Bersih di Perkotaan Pertengahan Februari 2007, warga di kawasan
Jakarta Utara mengeluhkan kenaikan harga air yang gila-gilaan. Seperti
dilaporkan sejumlah media, harga air bersih di sebagian wilayah Jakarta Utara
naik sampai lima kali lipat dari harga sebelumnya. “Dulu harga per gerobak (isi
6 jeriken) hanya 10 ribu. Sekarang naik jadi 50 ribu,” ujar Sukirman, warga RT 02
Kelurahan Rawa Badak Jakata Utara. Kelangkaan dan kenaikan harga air gerobakan
itu terjadi akibat terputusnya aliran PAM.
Kelangkaan air di sejumlah Kelurahan
Jakarta Utara itu menimpa Rawa Badak, Sungai Bambu, dan Kebon Bawang. “Saya
mohon pemerintah memerhatikan masalah air bersih ini. Kalau terlalu lama (air
PAM) berhenti, warga tidak tahan. Kami sudah menderita karena banjir, sekarang
untuk mendapatkan air bersih saja susahnya setengah mati,” ujar seorang ibu
asal Flores di Kelurahan Rawa Badak. Contoh Kasus Krisis air bersih di
Pedesaan. Di Kampung Legok Pego di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Warga disana kebanyakan menampung air hujan dari atap rumah ke
dalam jeriken-jeriken plastik untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Menurut
Kepala Dusun VI Desa Drawati Emen Suparman, kesulitan yang dihadapi warga
kampung Legok Pego bukan hanya kelangkaan air. Infrastruktur yang buruk
ditambah lokasi yang terpencil menyebabkan warga kesulitan mengakses sarana
pendidikan dan kesehatan. Kepala Dusun menambahkan, dulu ada sembilan mata air
yang terletak di perbukitan dan bisa mengalirkan air saat kemarau. Tapi sekarang,
mata air itu berhenti mengalir. Warga yang membutuhkan air bersih harus
berjalan kaki sejauh 3,5 kilo meter ke mata air terdekat. Sampai sekarang dinas
sosial Kabupaten Bandung masih mencari cara menolong warga desa Drawati. Dua
cuplikan peristiwa tadi menunjukkan krisis air atau ancaman kelangkaan air di
Indonesia memang betul-betul ada.
3.3 Pencapaian Target ke 10 MDGs (Millenium
Development Goals)
Selama
puluhan tahun Indonesia telah melakukan pembangunan dalam sektor air minum.
Akan tetapi sampai saat ini tingkat pelayanan air minum melalui sistem
perpipaan yang relatif paling aman dibanding sistem lain secara nasional baru
mencapai 41% untuk penduduk perkotaan dan 8% untuk penduduk pedesaan. Dalam
target kesepuluh sasaran pembangunan milenium/MDGs ditetapkan bahwa tahun 2015
pemerintah perlu meningkatkan akses separuh masyarakat yang saat ini belum
mendapat pelayanan terhadap air minum yang aman. Ada lima indikator untuk mengukur
akses masyarakat terhadap ketersediaan air minum, yaitu:
·
Kualitas
·
Kuantitas
·
Kontinuitas
·
Keandalan (reliability) sistem penyediaan air
minum
·
Kemudahan (affordiability), baik dalam harga
maupun jarak/ waktu tempuh
Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya
air menempatkan Indonesia pada peringkat terendah dalam Millennium Development
Goals (MDGs). Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP)
tentang MDGs Asia Pasifik tahun 2006 menyebutkan, Indonesia berada dalam
peringkat terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua
Niugini, dan Filipina. Indonesia terancam gagal untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium pada 2015. Data Bappenas menunjukkan hingga saat ini,
lebih dari 100 juta penduduk Indonesia belum mempunyai akses terhadap air
(bersih) yang aman untuk diminum. Hal ini disebabkan, belum tersedianya sarana
yang memadai di samping rendahnya prioritas anggaran penyediaan air bersih dari
pemerintah. Dalam Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Milennium (MDG’s) dihasilkan dua rekomendasi Umum tentang
tata kelola air bersih di Indonesia, yaitu : PDAM dan pemiliknya yakni
pemerintah daerah, menentukan target dan insentif yang tepat untuk memperluas
jangkauan pelayanannya agar mampu memenuhi tumbuhnya permintaan akan air bersih
dan meningkatkan akses air bersih bagi warga miskin. PDAM diharapkan lebih
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat miskin, mendorong partisipasi swasta,
kompetisi antara penyedia independen, serta mengoptimalkan kontribusi penyedia
jasa swasta berskala kecil. Dalam rangka menyediakan jaringan air bersih di
pedesaan, masyarakat didorong agar lebih mandiri.
Pemerintah
hanya berperan sebagai penentu standar, fasilitator untuk menampung aspirasi
warga terkait masalah pelayanan air bersih dan meningkatkan kualitas produksi
air serta akses pelayanan kepada publik. Sudah saatnya dipikirkan untuk menyediakan
pelayanan air bersih dan sanitasi berbasis komunitas. Data Susenas BPS 2004
menyebutkan bahwa persentase masyarakat yang memiliki sumber air minum dari
jaringan air minum yang terlindungi adalah sebesar 18% dan akses melalui bukan
jaringan perpipaan tidak terlindungi adalah 45%. Sehingga dapat disimpulkan
hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia tidak memiliki akses pada sumber
air minum yang aman. Cakupan layanan air minum perpipaan di akhir tahun 2009
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2004-2009 secara nasional ditargetkan mencapai 40% yang terdiri dari 66% perkotaan
dan 30% di pedesaan. Bila dibandingkan dengan cakupan layanan nasional tahun
2004 yang masih 18% secara nasional dengan 33% untuk perkotaan dan 7% untuk
pedesaan, target dalam RPJMN tersebut akan cukup sulit untuk dicapai.
3.4 Penyebab dan Dampak Krisis Air Bersih
3.4.1 Sebab-sebab Terjadinya Krisis Air Bersih
a.Perilaku Manusia
Kodo etik dalam
bukunya yang berjudul Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu mengungkapkan bahwa
faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup
yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat
tinggal. Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara
mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait
dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan
air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat
pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah
tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan
berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan
kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah
atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum
secara bersama. Populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak
merata. Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin
meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang
memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi
lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai
implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan
penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum
terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Selain itu meningkatnya
jumlah populasi juga berdampak pada sanitasi yang buruk yang akan berpengaruh besar
pada kualitas air. Sekitar 60 rumah di Jakarta memiliki sumur yang berjarak
kurang dari 10 meter dari septic tank. Jumlah septic tank di Jakarta lebih dari
satu juta. Melimpahnya jumlah septic tank yang terus bertambah tanpa ada
regulasi yang baik mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan
penduduk. Kerusakan Lingkungan
b. Penggundulan Hutan
Kerusakan lingkungan yang makin
parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan
kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air
(catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Laju kerusakan di semua
wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun
pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi
wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih. Berdasarkan data di Departemen
Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami
kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk
kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada
tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah
hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan
hutan.
c. Global Warming
Pemanasan global telah memicu
peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub,
berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya.
Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada
juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air
permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju
yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin
sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka
yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan
mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri
ketika airnya tidak lagi membeku. Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih
lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang
tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih
sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka, ketika
gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan
sumber air.
Pencemaran Air Saat ini pencemaran air
sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran
yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per
hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan
pada pertanian (Unesco, 2003). Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari
populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit
berkaitan dengannya. Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi
Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara
Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh
pencemaran limbah di sungai. Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama
di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari
bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.
Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat
pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai
itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta
sumber baku air minum olahan (PAM). Di Jakarta misalnya, dari hasil penelitian
oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta
pada 2006, 13 sungai yang mengalir melewati ibukota sudah tercemar bakteri
Escherchia coli (E-coli).
Bakteri
yang berasal dari sampah organik dan tinja manusia ini juga mencemari hampir 70
persen tanah di kawasan ibukota, sehingga berpotensi mencemari sumber air
tanah. Salah satu sungai yang tingkat pencemarannya paling parah adalah Sungai
Ciliwung. Kadar bakteri E-coli pada sungai itu mencapai 1,6-3 juta individu per
100cc, jauh di atas baku mutu 2.000 individu per 100cc. Padahal sungai ini
menjadi bahan baku air minum di Jakarta. Sedangkan penelitian lain menyebutkan,
76,2 persen dari 52 sungai di Pulau-pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi
tercemar berat oleh zat organik, termasuk 11 sungai-sungai utama di Indonesia
yang tercemar unsur amonium. Sungai-sungai yang mengalir di pulau Jawa, seperti
Jakarta, cenderung lebih tercemar oleh bakteri E-coli akibat pencemaran tinja
yang menyebabkan penyakit diare pada manusia.
d. Kurangnya koordinasi antara institusi
terkait
Departemen
Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri
mengurusi pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap
konservasi sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen
Kesehatan. Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan
kebijakan tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan
kurangnya koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program
pembangunan Indonesia di sektor air. Anggaran yang tidak mencukupi. Menurut
Depkes, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan
sanitasi (termasuk penyediaan air bersih) hanya sekitar 820 juta dolar AS atau
setara Rp 200 per orang per tahun. Padahal kebutuhannya mencapai Rp 470 per
rupiah per tahun. Versi Bank Pembangunan Asia perlu RP 50 triliun untuk mencapai
target MDGs 2015 dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih
dan sanitasi dasar. Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu hanya
1/214 dari anggaran subsidi BBM. Dari anggaran tersebut terlihat pemerintah
belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi sebagai investasi tetapi mereka
melihatnya sebagai biaya. Padahal menurut perhitungan WHO dan sejumlah lembaga lain
setiap US$ 1 investasi di sanitasi dan air bersih akan memberikan manfaat
ekonomi sebesar US$ 8 dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya
angka kasus penyakit dan kematian.
e.
Buruknya Kinerja
PAM/PDAM
Air
minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga
saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara
nasional, cakupan air perpipaan baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan
6,4% di perdesaan. Pada umumnya DAM
secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan.
Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%),
konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT). Sebagian besar PDAM mengalami
kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik
aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua,
tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM,
utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan,
tarif tidak full cost recovery, dan lain lain). Biaya produksi tergantung dari sumber
air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk
sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang
menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp
787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air,
sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan
tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai
sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp
1.175/m3. PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam
manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM.
Sumber
daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan
inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa
menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak
mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang
yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan. Di awal tahun
2007 misalnya, banyak warga di kawasan Jakarta mengeluhkan kelangkaan air
bersih. Tingginya permintaan secara otomatis mengakibatkan terjadinya lonjakan
harga air bersih. Diantara sebab kelangkaan air bersih adalah tidak
beroperasinya beberapa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) secara ideal. Fakta
yang ada menunjukkan bahwa dari sekitar 400 PDAM yang tersebar di seluruh
Indonesia, hanya sekitar 10 persen yang dapat beroperasi dengan prima. Kondisi PDAM
pada tahun 2007 adalah 80 perusahaan sehat, 116 kurang sehat, 139 sakit, dari
total 335 PDAM. PDAM saat ini juga terbelit utang kurang lebih sekitar Rp 5,66
triliun. Selain kapasitas produksi nasional air yang belum terpenuhi, PDAM hingga
kini masih mengalami masalah kebocoran air hingga 40-50 persen.
3.4.2 Dampak Krisis Air Bersih
Krisis air bersih yang
berkepanjangan menyebabkan dampak yang buruk pada segala hal. Dalam masalah
kekurangan air, negara-negara miskin paling banyak merasakan dampaknya. Negara negara
ini membutuhkan air dalam jumlah besar untuk bidang irigasi, domestik dan
industri. Air adalah kebutuhan mendasar manusia, tanpa air lingkungan akan
kering dan manusia akan mati. Ada beberapa penyebab merebaknya masalah krisis
air ini, salah satunya kegagalan beberapa negara untuk meregulasi, mengatur dan
menjaga kelestarian air, selain itu juga pertumbuhan populasi penduduk yang
semakin meningkat. Sebagai contoh, jumlah penduduk Cina yang mencapai 1,2
miliar saat ini akan membengkak menjadi 1,5 miliar pada tahun 2030. Berarti permintaan
air akan meningkat sebesar lebih dari 66 persen selama periode itu. Selain itu,
penggunaan sumber air bawah tanah yang tak terbatas juga memicu krisis air.
Selama ini, manusia telah memanfaatkan air sebagai satu-satunya ”benda” yang
tak dapat tergantikan oleh benda lain.
Namun usaha untuk penyediaan air
bersih belum banyak dilakukan. Bisa dibayangkan jika manusia di seluruh bumi
ini terus-menerus mengonsumsi air tanpa ada yang peduli terhadap
kelestariannya. Dampak Bagi kesehatan Parahnya masalah ketersediaan air bersih
ini menimbulkan masalah yang pelik pada sektor kesehatan. Seperti pada kasus
yang terdapat di situs www.sinarharapan.com dikatakan bahwa pernah terjadi di
Jakarta Utara, krisis air bersih mengakibatkan tujuh bayi tewas akibat diare.
Kematian tujuh bayi tersebut berawal dari krisis air bersih. Orang tua para
bayi tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya,
kecuali dengan memanfaatkan air sumur. Kita sangat paham dengan kondisi air sumur
di Jakarta.. Setidaknya ada 20-30 jenis penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang hidup dalam air. Penelitian WHO mengenai penyediaan air
bersih dan sanitasi dengan kesehatan, mengemukakan beberapa penyakit lain
seperti : kolera, hepatitis, polimearitis, typoid, disentrin trachoma, scabies,
malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan. Penelitian WHO mengenai hubungan
penyediaan air bersih dan sanitasi dengan kesehatan,
Di Indonesia terdapat empat dampak
kesehatan besar disebabkan oleh pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, yakni
diare, tipus, polio dan cacingan. Hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
kejadiaan diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk dan
terjadi satu-dua kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah lima tahun.
Data dari Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan menyebutkan,
pada tahun 2001 angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 per
100.000 penduduk, sedangkan angka tersebut lebih tinggi pada anak-anak berusia
di bawah lima tahun, yaitu 75 per 100.000 penduduk. Kematian anak berusia di
bawah tiga tahun 19 per 100.000 anak meninggal karena diare setiap
tahunnya-salah satu penyebab kematian anak (lainnya karena ISPA/infeksi saluran
penapasan akut, dan komplikasi sebelum kelahiran) -data dari Profil Kesehatan
Indonesia, 2003. Sedangkan untuk kejadian tipus di Indonesia adalah 350-810 per
100.000 penduduk. Studi klinis rumah sakit menunjukkan bahwa angka kesakitan
tipus adalah 500 per 100.000 penduduk dan laju kematian adalah 0,6%-5%.
Kematian akibat polio telah terjadi di Indonesia (di Provinsi Jawa Barat) pada
seorang anak laki-laki berusia di bawah dua tahun. Selain itu, prevalensi cacingan
di Indonesia adalah 35,3 %. Kerugian ekonomi sekitar 2,4 % dari GDP atau 13
dollar AS per bulan per rumah tangga (studi Asian Development Bank 1998).
Penyakit yang paling sering menyerang saat krisis air bersih melanda adalah
diare. Penyakit yang juga populer dengan nama muntah berak (muntaber) ini bisa
dikatakan sebagai penyakit endemis di Indonesia, artinya terjadi terus-menerus
di semua daerah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Diare yang disertai
gejala buang air terus menerus, muntah dan kejang perut sering dianggap bisa
sembuh dengan sendirinya tanpa perlu pertolongan medis. Diare memang jarang
sekali yang mengakibatkan kematian, namun tidak boleh dianggap remeh.
Kelangkaan air bersih dan gaya hidup yang jorok adalah penyebab dari penyakit
ini.
Gaya hidup yang tidak higienis &
tidak memperhatikan sanitasi menyebabkan usus rentan terhadap serangan virus
diare. Kasus diare yang tidak cepat ditangani dapat menyebabkan dehidrasi yang
jika dibiarkan dapat berujung pada kematian. Tanda seseorang menderita diare
adalah apabila frekuensi buang air besarnya lebih sering dari normal. Kotoran
yang keluar encer dan terdiri dari banyak cairan. Dan gejala seperti ini bisa
jadi hanya gejala penyakit yang lebih parah, yakni tipus dan kanker usus.
Sebenarnya pencegahan penyakit ini sangat mudah, yakni dengan menjaga
kebersihan tubuh, makanan dan minuman. Namun bagi penduduk di mana air bersih
sangat sulit mengalir, tindakan tersebut tidak bisa dengan mudah dilakukan. Sebenarnya
ada empat intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah diare, yaitu
pengolahan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, melakukan praktik cuci
tangan, meningkatkan sanitasi, mengingkatkan penyediaan air. Setiap intervensi
memiliki memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap diare. Data tahun 2006 dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa: No. Intervensi Penurunan Angka Kejadian Diare:
·
Berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi
lingkungan 94%
·
Pengolahan air yang aman dan penyimpanan di
tingkat rumah tangga 39%
·
Melakukan praktik cuci tangan yang efektif 45%
·
Meningkatkan sanitasi 32%
·
Meningkatkan penyediaan air 25%
Selain diare, daerah yang terkena krisis air bersih juga rentan terhadap
penyakit kulit menular. Penyakit gatal-gatal tersebut dikarenakan para warga
yang jarang mandi karena terbatasnya pasokan air bersih yang mereka miliki. Air
bersih yang mereka miliki hanya cukup digunakan untuk kebutuhan dapur.
Dampak
Bagi Ekonomi
Krisis air bersih memberikan dampak
pada bidang ekonomi. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia menetap di pulau jawa
yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia sementara
potensi air yang dimiliki hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia.
Dalam dua dasawarsa berikutnya diperkirakan air yang dipergunakan manusia akan meningkat
40 persen dan 17 persen lebih pasokan air dipergunakan untuk meningkatkan
pangan dan populasi. Disisi lain kondisi sumber-sumber air semakin parah,
khususnya di negara-negara miskin karena masalah pencemaran dan limbah. Oleh
karena itu telah diserukan investasi dalam pengadaan air oleh AS dan membiarkan
sektor swasta untuk menyediakan air atau privatisasi air. Permasalahan
privatisasi air di Indonesia sekarang menjadi lebih rumit karena hampir semua Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) saat ini dalam kondisi tidak mampu membayar utang utangnya.
Dalam situasi seperti inilah, maka privatisasi air seolah-olah merupakan obat
mujarab untuk membereskan masalah air
bersih. Sekarang ini UU RI No.7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang
didalamnya mengandung semangat privatisasi pengelolaan air telah disahkan. Pemerintah
Daerah diminta mengupayakan sendiri pembiayaan pengelolaan air tersebut, atau
dengan jalan mencari investor.
Di Jakarta, 95 persen saham perusahaan
pengelolaan air minum dimiliki dua perusahaan asing, RWE Thames dari Inggris
dan Ondeo Suez asal Perancis. Di daerah lain pun sejumlah perusahaan besar
dunia di sektor air telah beroperasi. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang;
Ondo Suez di Medan, Semarang, dan Tangerang; Thames Water di Sidoarjo; dan Vivendi
yang juga beroperasi di Sidoarjo. Pemberlukan UU Nomor 7 Tahun 2004 dimana
sector swasta diperbolehkan untuk mengelola sumber daya air di Indonesia
dianggap pemerintah sebagai solusi untuk pengelolaan sumber daya air. dengan
harapan jika masyarakat diberi nilai air secara ekonomis tinggi, maka
perlakukan masyarakat terhadap air menjadi berbeda: lebih hemat, menjaga dan
mensyukuri.
Sebenarnya, privatisasi tersebut
akan membuat akses masyarakat terhadap air menjadi terbatas dan mahal. Karena
seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung
semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Sebenarnya dengan komersialisasi air, mereka
yang memiliki uang paling banyaklah yang akan mendapat air paling banyak. Masyarakat
miskin yang tidak punya uang justru makin sulit mendapat air sehingga banyak orang
yang tidak mampu mendapat air sehat untuk minum. Contoh kasus yang terjadi di
Jakarta Utara menurut pengakuan seorang warga yang dikutip dari www.kompas.com
mengatakan bahwa ”Uang yang semula disimpan untuk belanja kebutuhan lain,
seperti beras dan minyak tanah, diambil buat membeli air. Kami terbebani.”
3.5 Program Pemerintah untuk Mengatasi Krisis
Air Bersih
3.5.1 Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan
Pembentukan
Kelompok Kerja ini didasari pada pemikiran bahwa pembangunan air minum dan penyehatan
lingkungan tidak hanya terkait pada satu bidang tertentu tetapi harus merupakan
kesatuan dari beberapa aspek, yaitu aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan,
sosial dan lingkungan hidup. Berdasarkan pemahaman itulah maka dibentuk
Kelompok Kerja Air Minum Dan Penyehatan Lingkungan, yang terdiri dari departemen-departemen
terkait, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, dan Departemen Kesehatan serta dikoordinasikan oleh
Bappenas. Selain terkait dengan kegiatan Proyek Penyediaan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan ( Proyek WASPOLA, WSLIC-2, Pro-Air, CWSH, SANIMAS ),
Kelompok Kerja juga terlibat pada penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan. Saat ini baru diselesaikan Kebijakan Nasional
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sedang
dalam tahap penyusunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Lembaga ataupun kegiatan uji coba penerapan kebijakan di daerah dan kegiatan
kampanye publik mengenai air minum dan penyehatan lingkungan, yang ditempuh melalui
kegiatan penyusunan jurnal air minum dan penyehatan lingkungan, pembuatan
poster ataupun komik.
Pengelolaan air minum dan
penyehatan lingkungan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan
masyarakat sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab, pengelola adalah
masyarakat dan/atau lembaga yang ditunjuk oleh masyarakat, yang tidak
memerlukan legalitas formal serta penerima manfaat diutamakan pada masyarakat
setempat, dengan sumber \ investasi berasal dari mana saja (kelompok,
masyarakat, pemerintah, swasta ataupun donor). Sedangkan pengelolaan air minum
dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang
menempatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab,
pengelola adalah masyarakat dan/atau lembaga yang ditunjuk oleh masyarakat,
yang tidak memerlukan legalitas formal serta penerima manfaat diutamakan pada
masyarakat setempat, dengan sumber investasi berasal dari mana saja (kelompok,
masyarakat, pemerintah, swasta ataupun donor).
Diharapkan
keanggotaan Kelompok Kerja ini semakin meluas sehingga kegiatan yang dilakukan pun
semakin beragam dalam rangka peningkatan aksesibilitas masyarakat akan air
minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu diharapkan pola-pola kerjaasama ini
dapat direplikasikan di daerah ( baik propinsi dan kabupaten/kota) sehingga kegiatan
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik.
3.5.2
Pelaksanaan
Program Kelompok Kerja AMPL
Water
and Sanitation for Low Income Communities Project (WSLIC) II
a. Latar Belakang
Banyak
penduduk perdesaan masih tergantung pada sumber air minum tradisional. Padahal sumber
air itu tak jarang lokasinya sulit di jangkau, debitnya tak mencukupi pada saat
air kering, kualitasnya belum memenuhi syarat untuk di konsumsi secara
langsung, dan jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat desa. Kondisi yang
buruk itu menjadi hambatan yang sangat besar bagi wanita dan anak- anak karena
waktunya tersita untuk mendapatkan air bagi keperluan mencuci, memasak, dan minum.
Selain itu, banyak keluarga berpengasilan rendah dan berada di lokasi terpencil
membuang kotorannya di tempat terbuka atau sungai. Kebiasaan buruk ini sering
menimbulkan terjangkitnya penyakit diare atau lainnya ke masyarakat yang sama –
sama menggunakan mata air tersebut.
Proyek
WSLIC-1 telah berlangsung pada tahun 1993-1999 untuk mengatasi berbagai permasalahan
tersebut. Dari hasil studi dampak kesehatan terhadap pembangunan sarana air minum
dan sanitasi lainnya terlihat adanya penurunan tingkat penyakit diare hingga sepertiganya.
Namun proyek WSLIC-1 menghadapi kendala kerumitan penyaluran admistrasi
keuangan. Proyek ini diluncurkan kembali dengan WSLIC-2 yang berakhir pada\ 2006.
Total dana yang disediakan untuk proyek kedua ini sebesar 106 juta dolar AS
dari IDA (World Bank), pemerintah Australia melalui AusAID ditambah dana
masyarakat.
b. Tujuan
Poyek ini bertujuan meningkatkan status
kesehatan, produktivitas serta kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah
melalui perubahan perilaku, pelayanan kesehatan berbasis lingkungan, penyediaan
air minum dan sanitasi yang aman, cukup dan mudah dijangkau, berkesinambungan
dan efektif melalui partisipasi masyarakat.
c. Pendekatan/Penerapan Program
WSLIC-2 mempunyai empat komponen utama
yakni peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, peningkatan kesehatan dan
sanitasi melalui pelayanan kesehatan dan perubahan perilaku, penyedian sarana
air minum dan sanitasi, pengelolaan / manajemen proyek. Proyek ini menerapkan
suatu metode pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Seluruh
anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat (berpatisipasi ) dalam pemilihan
kegiatan untuk kesehatan, air minum dan sanitasi, dengan fokus khusus pada permintaan
perempuaan dan masyarakat miskin. Metode yang digunakan adalah PHAST ( Participatory
Health and Sanitation Transformation/Tranfomasi hidup bersih dan sanitasi dengan
menggunakan metode partisipatori.). Metode ini didasari oleh metodologi
partisipatif lain yakni SARAR (percaya tanggung jawab).
Dengan metode tanggap kebutuhan
tersebut masyarakat terlibat dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai
pemeliharaan. Masyarakat menentukan sendiri pilihan teknologi sarana yang akan
dibangun. Kegiatan mereka didanai oleh hibah desa yang berasal dari Bank Dunia dan
Pemerintah daerah yang mencakup 80 persen dari total pembiayaan. Selebihnya
dari konstribusi masyarakat berupa 4 persen tunai, dan 16 persen barang dan
tenaga ( in-kind ). Hingga Agustus 2003, tercatat ada 870 desa yang masuk
terdaftar terpilih, yang sedang berproses ada 779 desa, yang sudah
menandatangani kontrak ada 387 desa. Sedangkan yang sudah selesai melaksanakan
proyek sebanyak 221 desa. Dua ribu desa ditargetkan terlibat proyek WSLIC-2
hingga 2006.
c.
Sumber Dana
Total dana yang disediakan untuk proyek
WSLIC-2 ini sebesar 106 juta dolar AS dari IDA (World Bank), pemerintah
Australia melalui AusAID ditambah dana masyarakat.
d. Lokasi
Proyek ini dilaksanakan di tujuh
propinsi yakni Jawa Timur, Nusa Tengara Barat, Sumatra Barat, Sumatra Selatan,
Bangka – Belitung, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Pemilihan propinsi ini di
dasarkan kriteria:tingkat terjangkitnya penyakit diare, tingkat kemiskinan, dan
tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi.
e. Laporan Kegiatan WSLC II di Desa Pakel
Kabupaten Lumajang
Pada tanggal 13 September 2004, Pokja
AMPL diundang oleh Pengelola Proyek WSLIC 2 untuk meninjau ke Kabupaten
Lumajang yang merupakan salah satu daerah yang dianggap berhasil dalam
melaksanakan proyek WSLIC 2. Jika mencermati komposisi penduduk yang dominan
adalah tidak tamat SD dan bahkan tidak dapat berbahasa Indonesia, maka menjadi sangat
mengagumkan bahwa proyek WSLIC 2 dapat dilaksanakan dengan baik di desa ini. Beberapa
hasil yang mengesankan misalnya pertambahan pemilikan jamban yang memenuhi syarat
sangat menggembirakan. Pada awal proyek (Maret 2004) hanya 15 KK yang memiliki jamban,
yang kemudian bertambah menjadi 133 KK di akhir proyek (Agustus 2004). Selain itu,
desa ini juga berhasil menjadi salah satu pemenang lomba desa sehat. Kondisi
sekolah SD yang kami kunjungi juga terlihat bersih dan dilengkapi dengan
peralatan cuci tangan. Namun ternyata masih banyak penduduk miskin (sekitar 75
KK) yang belum mendapat layanan air minum. Sementara penduduk yang terlayani
berdasar pengamatan kami terlihat banyak yang masuk kategori tingkat
kesejahteraan sedang (tidak miskin dan tidak kaya). Walaupun pengkategorian
kesejahteraan dilakukan oleh penduduk namun kategori tersebut perlu
dipertanyakan. Misal saja penduduk yang memiliki rumah bagus (tembok) dan 21
ekor kambing masih dikategorikan sedang.
f. Kelanjutan program WSLIC II
Pada tanggal 4 Juni 2007, telah
dilakukan pertemuan persiapan (kick off meeting) untuk pelaksanaan supervisi
WSLIC 2 (Second Water and Sanitation for Low Income Communities) tahap
kesepuluh. Pertemuan berlangsung di Gedung D Lt. IV Ditjen PPPL, Depkes, yang
dihadiri 33 peserta yang berasal dari: Bappenas, PU, Depkes, Depdagri
(PMD/Bangda), AusAID, World Bank, WSP-EAP, WASPOLA dan tim WSLIC sendiri. Team
Leader Proyek WSLIC untuk Depkes, yang menguraikan capaian hinga kuarter pertama
tahun 2007, antara lain: Awalnya proyek WSLIC ditargetkan pada 2000 desa, namun
telah direvisi menjadi 2460 desa, sesuai kesepakatan Pemerintah dan Bank Dunia.
Tim kerja masyarakat (village implementation team) sudah terbentuk di 2081
desa, atau 85% dari jumlah desa pada target revisi. Rencana kerja masyarakat
(community action planning) telah ada di 1939 desa, atau 79% dari target
revisi. Sejumlah 1875 desa (76% dari target revisi) telah menerima pembayaran
hibah dari proyek WSLIC (grant payment). Sarana air bersih telah terfungsikan
di 1740 desa (71% dari target revisi). Pekerjaan fisik telah berlangsung di
1650 desa, atau 83% desa dari target awal. Dana yang tersalurkan ke masyarakat
mencapai 306,6 milyar rupiah, atau 87,6%. Penerima manfaat mencapai 3, 96 juga
penduduk, atau 113% dari target awal 3,5 juta penduduk. Penyerapan dana kredit
IDA mencapai 54,02 US$ (65%) sedangkan AusAID Trust Fund mencapai 5,02US$ (67%)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Air merupakan unsur yang vital
dalam kehidupan manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah,
namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah
sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai
air minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang
terjadi sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari
ke hari. Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air
minum. Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Potensi air
permukaan Di Indonesia sendiri lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun. Sekitar 119
juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan
– 23 Maret 2007). Penduduk Indonesia yang bias mengakses air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia.
Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan Penyebab dari terjadinya
krisis air bersih ini antara lain: perilaku manusia yang kurang, Populasi yang
terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata, kerusakan lingkungan,
manajemen pengelolaan air yang buruk, global warming, anggaran yang tidak
mencukupi, serta buruknya kinerja PAM PDAM. Kemudian krisis air bersih ini juga
memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat diantaranya
dampak bagi kesehatan yaitu timbulnya berbagai macam penyakit dan dampak
ekonomi yaitu sulitnya air bersih didapatkan terutama bagi rakyat miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Andi
Iqbal Burhanuddin, Fenomena Pemanasan Global dan Dampaknya (22 Nov 2007)
Brigita
Isworo L., “Bom Waktu yang Terus Berdetik, ” (Kompas, 19 Maret 2008), 48
Elok
Diah Messwati, ”Sanitasi Buruk Ancam Kehidupan” (Kompas, 19 Maret2008), hal 45
M.
Aris Marfai, Krisis Air, Tantangan Manajemen Sumberdaya Air (Mar 09 2008 )
Privatisasi
Air Ciderai Hak Rakyat http://www.adilnews.com
Sri
Hartati Samhadi, Sasaran Pembangunan Milenium: Terengah-engah Mengatasi Ketinggalan,
Kompas (19 maret 2008), hal 47