Entri Populer

Kamis, 10 Maret 2011

IMPLEMENTASI HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA

IMPLEMENTASI HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA
PENDIDDIKAN KEWARGANEGARAAN
OLEH:
HARDIONO PANJAITAN
NPM: 33410137
KELAS : 1ID05



UNIVERSITAS GUNADARMA
Jl. Kj. Noer Ali, kalimalang
BEKASI











Penerapan HAM di indonesia sampai pada saat  ini belumlah mencapai hasil yang maksimum. Karena masih banyaknya kasus-kasus yang terjadi di indonesia yang belum diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal negara indonesia adalah negara hukum, sebuah negara yang bisa dikatakan bermoral tinggi. Namun sagatlah disayangkan, karena masih banyaknya warga negara yang belum merasakan haknya yang sepenuhnya.
Bila dilihat dari banyaknya hukum ataupun perundang-undangan yanh berlaku di indonesia, harusnya negara indonesia adalah negara yang damai dan sejahterah. Namun semua itu masih saja menjadi harapan belaka, karena sampai saat ini, yang satu agamapun  belum juga ada ras persatuan dan kesatuan, bagaimana dengan agama yang lain.
Secara hukum, istilah HAM di indonesia diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang No.39/1999 tentang HAM . HAM berbeda dengan hak-hak manusia. HAM dan HM sering dianggap sama padahal hakikat dan jangkauannya berbeda.
Defenisi HAM menurut pasal 1 Angka 1 UU No.39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang  melekat  pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib di hormati, di jungjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang , demi kehormatan dan martabat manusia.
maka tidak semua hak dapat di kategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD, UU organik, dan perjanjian internasional.
HAM, dibatasi alasan tidak boleh mengganggu ketertiban umum, keutuhan, dan kesatuan bangsa, seperti diatur dalam pasal 6 huruf d dan e Uuu No.9/1998, tenteng kemerdekaan menyampaikan pendapat di mika umum, pasal 37 UU HAM dan UU No 40/1999 tentang pers, pasal 28 j ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Ketegasan presi den dalam pidato kenegaraan  untuk menindak gerakan separatis yang mengancam kesatuan bangsa perlu di dukung, sebab:
1.      Tindakan hikum atas kelompok separatis dan anarkis merupakan upaya kedaulatan RI dan wibawa pemerintah
2.      Meningkatkan penegakan hukum, kesadaran, dan kepatuhan hukum
3.      Meningkatkan sosialisasi dan kesadaran penggunaan HAM dan pembatasannya. Sebab kenyataan menunjukkan, banyak pendemo terutama di daerah kurang memahami pembatasan HAM secara normatif.
Masalah Hak Azasi Manusia(HAM) secara jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemenkan, tapi bukan berarti sebelum itu UUD 1945 tidak memuat HAM .
Rapuhnya Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap-hak-hak tersebut belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.
Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak berguna sama sekali.
Jika dicermati lebih jauh, rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Lihat misalnya undang-undang No 1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat kontradiktif dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat wajar jika agama agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di terima hidup di di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan

di Indonesia, khususnya yang termaktub pada pasal 28 (e) dan pasal 29 undang-undang 1945.
Ratafikasi terhadap DUHAM dilakukan Indonesia berdasarkan Undang-undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia, khususnya pada pasal 22 yang menyangkut jaminan hak atas kebebasan beragama. Pada pasal 22 ini disebutkan: pertama, “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”; kedua, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, jaminan kebebasan beragama dalam skala internasional yang turut diratafikasi Indonesia melalui HAM juga dapat dilihat melalui Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dengan meratafikasi konvenan ini, maka
indonesia terikat untuk menjamin: hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta perlindungan atas hak-hak tersebut (pasal 18); hak untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di Negara pihak [Negara yang terlibat menandatangani konvenan internasional dimaksud] (pasal 27).
Namun demikian, kondisi kehidupan beragama di Indonesia agaknya tidak mencerminkan nilai-nilai dimaksud, baik yang dicerminkan oleh HAM itu sendiri, maupun konvenan-konvenan internasional yang telah diratafikasi sebagai undang-undang turunannya. Padahal, dengan turut meratafikasi konvenan-konvenan tersebut, maka semestinya Indonesia menjadi salah satu Negara yang bertanggung jawab atas berjalannya HAM dalam pemerintahan negara, dalam hal ini termasuk pula ihwal kebebasan beragama. Bahkan, tanggung jawab tersebut dengan jelas tercermin pada pasal 8 Undang-undang RI tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan “Perlindungan, pemajuan, penagakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”.
Realitas Kebebasan Beragama dan Pelanggaran HAM di Indonesia
HAM mestilah menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia ketika undang-undang kebebasan beragama sebagai jaminan hak atas kebebasan beragama dirasa mengalami “kemandulan”, sebab dalam praktiknya undang-undang tersebut tidak dapat di implementasikan dengan baik. Akan tetapi, keberadaan HAM di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, masih mengalami “kemandulan”. Namun demikian, jika hukum yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia tidak, atau belum terimplementasi, masih saja terjadi pelanggaran di sana-sini baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan tidak berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia (internasional). Lain halnya dengan pelanggaran HAM berikut konvenan-konvenan yang telah diratafikasi, tentu akan berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia.
Anggaplah pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan maslah kebebasan beragama di Indonesia sebagai situasi darurat, sehingga ada beberapa pasal yang kesannya “dilanggar”, tetap saja argumentasi semacam ini dirasa belum memadai untuk melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Sebab, beberapa pelanggaran atas hak kebebasan beragama di Indonesia agaknya tidak mempertimbangkan ketentuan yang dijelaskan pada pasal yang disebutkan di atas (pasal 4 ayat 1 ICCPR). Walaupun dalam praktiknya, tindak diskriminasi yang kerap dialami oleh beberapa kelompok yang dipandang sebagai “aliran sesat” terjadi karena alasan “meresahkan masyarakat”, namun keresahan-keresahan tersebut kurang cukup beralasan sebagai kondisi yang akan mengancam kehidupan Negara. Justru sebaliknya, tidak mustahil jika kebebasan beragama terbelenggu begitu ketat, sejarah “sekularisme” (penyingkiran agama dari kebijakan Negara) yang pernah terjadi di Eropa akan terulang di Indonesia, ini baru dapat disebut sebagai ancaman serius bagi kehidupan Negara.
Penutup: Krisis Peranan dan Krisis Kesadaran.
Mengapa iklim kebebasan beragam sulit untuk diwujudkan di Indonesia?, paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang.
Namun demikian, yang terjadi tidak menampakkan kondisi yang semestinya (dasolen). Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini. Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat melihat demikian banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras – konon, ketika kasus Amadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama meminta mereka untuk membentuk agama sendiri.
Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Dengan adanya tulisan ini saya berharap implementasi Hak Azasi Manusia di Indonesia akan lebih baik lagi. Kedepannya, semoga Negara Indonesia menjadi Negara yang sejahterah adil dan makmur.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar