IMPLEMENTASI HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA
PENDIDDIKAN
KEWARGANEGARAAN
OLEH:
HARDIONO PANJAITAN
NPM: 33410137
KELAS : 1ID05
UNIVERSITAS GUNADARMA
Jl. Kj. Noer Ali, kalimalang
BEKASI
Penerapan HAM di indonesia sampai pada saat ini belumlah mencapai hasil yang maksimum.
Karena masih banyaknya kasus-kasus yang terjadi di indonesia yang belum
diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal negara indonesia adalah negara
hukum, sebuah negara yang bisa dikatakan bermoral tinggi. Namun sagatlah disayangkan,
karena masih banyaknya warga negara yang belum merasakan haknya yang
sepenuhnya.
Bila dilihat dari banyaknya hukum ataupun
perundang-undangan yanh berlaku di indonesia, harusnya negara indonesia adalah
negara yang damai dan sejahterah. Namun semua itu masih saja menjadi harapan
belaka, karena sampai saat ini, yang satu agamapun belum juga ada ras persatuan dan kesatuan,
bagaimana dengan agama yang lain.
Secara hukum, istilah HAM di indonesia diatur dalam
UUD 1945 dan undang-undang No.39/1999 tentang HAM . HAM berbeda dengan hak-hak
manusia. HAM dan HM sering dianggap sama padahal hakikat dan jangkauannya
berbeda.
Defenisi HAM menurut pasal 1 Angka 1 UU No.39/1999
tentang HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib di
hormati, di jungjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap
orang , demi kehormatan dan martabat manusia.
maka tidak semua hak dapat di kategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD, UU organik, dan perjanjian internasional.
maka tidak semua hak dapat di kategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD, UU organik, dan perjanjian internasional.
HAM, dibatasi alasan tidak boleh mengganggu ketertiban
umum, keutuhan, dan kesatuan bangsa, seperti diatur dalam pasal 6 huruf d dan e
Uuu No.9/1998, tenteng kemerdekaan menyampaikan pendapat di mika umum, pasal 37
UU HAM dan UU No 40/1999 tentang pers, pasal 28 j ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945.
Ketegasan presi den dalam pidato kenegaraan untuk menindak gerakan separatis yang
mengancam kesatuan bangsa perlu di dukung, sebab:
1.
Tindakan hikum atas kelompok separatis dan anarkis merupakan
upaya kedaulatan RI dan wibawa pemerintah
2.
Meningkatkan penegakan hukum, kesadaran, dan kepatuhan hukum
3.
Meningkatkan sosialisasi dan kesadaran penggunaan HAM dan
pembatasannya. Sebab kenyataan menunjukkan, banyak pendemo terutama di daerah
kurang memahami pembatasan HAM secara normatif.
Masalah Hak Azasi Manusia(HAM) secara jelas diatur
dalam UUD 1945 yang diamandemenkan, tapi bukan berarti sebelum itu UUD 1945
tidak memuat HAM .
Rapuhnya
Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama
Jika kita
merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana
disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang
ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap
Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada
prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan
beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini
mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk
meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap
sesuai dengan hati nurani.
Namun
demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah
disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap-hak-hak tersebut
belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi
dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran
sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas
menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya,
perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman
terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.
Fenomena
yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama
di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power
sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga
mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan
didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan
tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI
misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat
diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya
bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami
kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah
tidak berguna sama sekali.
Jika
dicermati lebih jauh, rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja
diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari
itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali
dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini
melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum
yang satu dengan hukum yang lainnya. Lihat misalnya undang-undang No
1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat kontradiktif dengan Surat Edaran
(SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November
1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun belakangan Konghucu diakui kembali
sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pembatasan 5
dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap
masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan
dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat
wajar jika agama agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di
terima hidup di di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang
lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan
di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat
di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka.
Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan
konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem
perundangan
di
Indonesia, khususnya yang termaktub pada pasal 28 (e) dan pasal 29
undang-undang 1945.
Ratafikasi
terhadap DUHAM dilakukan Indonesia berdasarkan Undang-undang RI No 39 Tahun
1999 Tentang Hak Azasi Manusia, khususnya pada pasal 22 yang menyangkut jaminan
hak atas kebebasan beragama. Pada pasal 22 ini disebutkan: pertama,
“setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”; kedua, “Negara menjamin kemerdekaan setiap
orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. Selain itu, jaminan kebebasan beragama dalam skala
internasional yang turut diratafikasi Indonesia melalui HAM juga dapat dilihat
melalui Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang pengesahan International
Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) (Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dengan meratafikasi konvenan ini, maka
indonesia
terikat untuk menjamin: hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan
dan beragama, serta perlindungan atas hak-hak tersebut (pasal 18); hak untuk
memiliki pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk
menyatakan pendapat (pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum
dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (pasal
26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas
yang mungkin ada di Negara pihak [Negara yang terlibat menandatangani konvenan
internasional dimaksud] (pasal 27).
Namun
demikian, kondisi kehidupan beragama di Indonesia agaknya tidak mencerminkan
nilai-nilai dimaksud, baik yang dicerminkan oleh HAM itu sendiri, maupun
konvenan-konvenan internasional yang telah diratafikasi sebagai undang-undang
turunannya. Padahal, dengan turut meratafikasi konvenan-konvenan tersebut, maka
semestinya Indonesia menjadi salah satu Negara yang bertanggung jawab atas
berjalannya HAM dalam pemerintahan negara, dalam hal ini termasuk pula ihwal
kebebasan beragama. Bahkan, tanggung jawab tersebut dengan jelas tercermin pada
pasal 8 Undang-undang RI tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan
“Perlindungan, pemajuan, penagakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia menjadi
tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”.
Realitas
Kebebasan Beragama dan Pelanggaran HAM di Indonesia
HAM mestilah
menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan beragama di
Indonesia ketika undang-undang kebebasan beragama sebagai jaminan hak atas
kebebasan beragama dirasa mengalami “kemandulan”, sebab dalam praktiknya
undang-undang tersebut tidak dapat di implementasikan dengan baik. Akan tetapi,
keberadaan HAM di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan undang-undang
yang telah disebutkan sebelumnya, masih mengalami “kemandulan”. Namun demikian,
jika hukum yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia tidak, atau
belum terimplementasi, masih saja terjadi pelanggaran di sana-sini baik oleh
pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan tidak berakibat fatal
dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia (internasional). Lain halnya
dengan pelanggaran HAM berikut konvenan-konvenan yang telah diratafikasi, tentu
akan berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia.
Anggaplah
pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan maslah kebebasan beragama di
Indonesia sebagai situasi darurat, sehingga ada beberapa pasal yang kesannya
“dilanggar”, tetap saja argumentasi semacam ini dirasa belum memadai untuk
melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Sebab, beberapa
pelanggaran atas hak kebebasan beragama di Indonesia agaknya tidak
mempertimbangkan ketentuan yang dijelaskan pada pasal yang disebutkan di atas
(pasal 4 ayat 1 ICCPR). Walaupun dalam praktiknya, tindak diskriminasi yang
kerap dialami oleh beberapa kelompok yang dipandang sebagai “aliran sesat”
terjadi karena alasan “meresahkan masyarakat”, namun keresahan-keresahan
tersebut kurang cukup beralasan sebagai kondisi yang akan mengancam kehidupan
Negara. Justru sebaliknya, tidak mustahil jika kebebasan beragama terbelenggu
begitu ketat, sejarah “sekularisme” (penyingkiran agama dari kebijakan Negara)
yang pernah terjadi di Eropa akan terulang di Indonesia, ini baru dapat disebut
sebagai ancaman serius bagi kehidupan Negara.
Penutup:
Krisis Peranan dan Krisis Kesadaran.
Mengapa
iklim kebebasan beragam sulit untuk diwujudkan di Indonesia?, paling tidak ada
dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis
peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan
masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif
merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin
kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM
sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah
kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran
yang menyimpang.
Namun
demikian, yang terjadi tidak menampakkan kondisi yang semestinya (dasolen).
Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini.
Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu
dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat
melihat demikian banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada
undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas
pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak
argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia
Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras – konon,
ketika kasus Amadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama
meminta mereka untuk membentuk agama sendiri.
Disamping
peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama),
tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam
permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum
(LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok
minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar
untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan
beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis
peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun
kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka
begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah
menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya,
masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan
masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat
menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin
menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Akhir kata saya mengucapkan terima
kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Dengan adanya tulisan ini
saya berharap implementasi Hak Azasi Manusia di Indonesia akan lebih baik lagi.
Kedepannya, semoga Negara Indonesia menjadi Negara yang sejahterah adil dan
makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar